Senin, 10 Agustus 2015

My first E-book: Smart Negotiation for Purchasing Professional,

E-book: Smart Negotiation for Purchasing Professional, “cara cerdas professional procurement & purchasing menghadapi supplier dalam negosiasi, teori & praktek terbaik”

Ini adalah buku pertama karya saya. Di buku ini saya mencoba menggabungkan teori dan praktek tentang negosiasi purchasing. Beberapa teori dalam negosiasi purchasing sama dengan negosiasi umum, namun banyak isu yang dibahas di buku ini adalah isu spesifik yang dialami dalam negosiasi purchasing. Contohnya adalah salah satu isu yang cukup membedakan pembahasan negosiasi purchasing dengan pembahasan buku-buku tentang negosiasi umum adalah pentingnya persiapan data yang akan digunakan profesional purchasing dalam bernegosiasi dengan supplier serta bargaining power dan hubungan antara buyer dan supplier. Penulis juga memperkaya buku ini dengan praktek negosiasi purchasing yang dialami sendiri oleh penulis dan juga dari berbagai sumber lain seperti pengalaman profesional purchasing lain yang diceritakan oleh peserta training dan konsultasi penulis, dari diskusi dengan profesional purchasing lain dalam berbagai diskusi di asosiasi procurement, dan berbagai sumber lainnya.
Saya berharap agar buku ini dapat bermanfaat dan menjadi acuan profesional purchasing dalam menjalankan aktivitas negosiasi. Saya juga berharap buku ini menjadi buku yang “hidup” dalam artian menjadi buku yang tumbuh dan berkembang dengan feedback dari pembaca buku ini.
                
Silahkan di down load e-book di link dengan mengklik DISINI


Memang di e-book di link ini yang tersedia baru beberapa bab. Namun sedikit demi sedikit buku ini akan saya lengkapi sampai diluncurkan lengkap.


Sabtu, 23 Mei 2015

Berapakah seharusnya harga pantas di penawaran supplier?

Salah seorang klien bercerita bahwa beliau dan tim masih sering merasa salah dalam menentukan harga penawaran pantas dari supplier. Terkadang harga yang ditawarkan terlalu tinggi atau terlalu rendah dari perkiraan beliau dan tim. Terkadang waktunya terlalu lama untuk melakukan perkiraan sehingga memperpanjang proses procurement. Terkadang data yang ada dirasa tidak cukup untuk memperkirakan harga yang pantas, dan berbagai masalah lainnya.
Memperkirakan biaya (cost estimation) merupakan proses yang cukup kritis dalam procurement karena berhubungan dengan proses procurement lainnya spt keputusan pembelian, proses budgeting, dsb.
Cost estimation adalah perkiraan biaya sebuah produk, program, proyek, atau operasi atas dasar informasi yang tersedia. Memang ada banyak teknik cost estimation, namun ada pertimbangan tertentu dalam pemilihan teknik cost estimation tsb.
Pertimbangannya spt : (1) estimasi biaya ini untuk kebutuhan pada tahap mana di siklus procurement (Need-specify-sourcing-enquire-evaluate-negotiate-order-progress-deliver-pay-review) atau di siklus project (inisiasi-planning-eksekusi-closure). Jika masih berada di tahap siklus awal, metode top-down spt analogous estimating, parametric estimating, lebih cocok. Tapi jika untuk tahap lebih dekat dgn keputusan pembelian, metode spt bottom up, vendor bid analysis, lebih cocok   (2) Matrix Kraljic, apakah item yang diestimasi berada pada kuadran routine item, bottleneck, core, atau leverage. Misalnya untuk item di kuadran routine dan leverage, metode vendor bid analysis sangat cocok. (3) Tingkat akurasi estimasi yang diinginkan. Ditahap-tahap awal dalam siklus procurement dan proyek, tingkat akurasi beriksar 60%, semakin dekat dengan tahap keputusan pembelian, tingkat akurasi yang diinginkan cukup tinggi. Teknik analogous estimating dan parametric estimating mempunyai tingkat akurasi yang lebih rendah dibanding teknik bottom up. (4) Waktu tersedia dalam mengestimasi. Teknik bottom up membutuhkan waktu cukup panjang dalam menghasilkan estimasi dibandingkan teknik lain. Jadi, untuk keefektifan proses estimasi, seorang estimator harus mengkaji pertimbangan-pertimbangan tsb sebelum memutuskan menggunakan teknik estimasi yang mana.

Ada beberapa teknik cost estimation spt dipaparkan sbb. Ada beberapa teknik yang bisa dikombinasi spt teknik expert judgment dengan teknik analogous estimating, dsb. (1) expert judgment: menggunakan penilaian dari ahli dibidang tsb untuk menentukan biaya. (2)  analogous estimating: melakukan analogi dari pembelian sebelumnya dan melakukan estimasi dengan menyesuaikan dengan perbedaan yang mungkin ada dibandingkan pembelian sebelumnya spt paramater ekonomis (inflasi, labour rate, dll), tingkat kompleksitas, dsb. (3) parametric estimating: mirip dengan analogous estimating, yaitu menggunakan data pembelian sebelumnya, namun menggunakan tingkat akurasi yang lebih tinggi karena menggunakan analisis statistik dalam proses estimasi biayanya. (4)  Three-Point Estimates: meningkatkan akurasi estimasi dengan menyediakan range estimasi biaya dan menghitung weighted average (rata2 bobot) range (ada skenario best, most likely, dan worst case). (5) Vendor bid analysys: ditentukan dengan menganalisa quotation/ proposal dari beberapa vendor qualified sebagai hasil bidding. (6) Bottom-Up Estimating: melakukan breaks down dan mengestimasi setiap komponen proyek. (7) Project Management Software (8) Actual Cost (9) Reserve Analysis (10) Cost of Quality (11) Dll. Teknik no 7, 8, 9, 10 sering dikombinasi dengan teknik lain sebelumnya.


Selasa, 05 Mei 2015

Apakah supplier sedang menggertak atau sedang sungguh-sungguh?

Salah satu taktik negosiasi yang sering digunakan baik oleh supplier maupun buyer adalah taktik walk out, yaitu taktik dimana supplier atau buyer tidak bersedia melanjutkan negosiasi jika pihak lawan tidak memenuhi pemintaan buyer atau supplier tersebut. Tujuan dari taktik ini, pertama untuk menggertak lawan sehingga diharapkan lawan bersedia merubah posisi level konsesinya, atau kedua, memang bermaksud menyatakan ke pihak lawan bahwa konsesi yang diminta oleh pihak lawan tidak bisa dipenuhi karena permintaan tsb sudah berada di bawah posisi konsesi “Must Have” atau “Walk Away” (posisi terendah yang bisa dipenuhi).
Sering kali buyer tidak bisa membedakan saat supplier menggunakan taktik walk out tsb ke mereka apakah supplier tsb sedang mengertak atau memang sedang bersungguh-sungguh tidak bisa meneruskan negosiasi. Untuk itu para buyer harus bisa mengukur untuk mengetahui hal ini sebagai bagian persiapan negosiasi.
Salah satu praktek yang efektif adalah dengan mengajukan beberapa pertanyaan kunci ke supplier pada saat meeting pre-negotiation untuk mengetahui beberapa informasi untuk menentukan tingkat kebutuhan supplier thd bisnis buyer sehinga mengetahui kemampuan supplier untuk walkout.
Beberapa pertanyaan spt:
1.       Berapa persen dari total bisnis supplier jika kita order ke supplier senilai PO atau kontrak yang akan buyer tawarkan?
2.       Relatif terhadap customer lain supplier tsb, berada di urutan berapa nilai PO atau kontrak yang akan kita tawarkan? Pertanyaan satu dan dua bertujuan menilai tingkat ketergantungan supplier ke perusahaan buyer. Jika persentase bisnis yang buyer akan berikan cukup tinggi (misalnya 10% atau 20%, tergantung jenis industri) dan berada di urutan yang cukup tinggi (misalnya urutan 10 besar dsb tergantung jenis industri), posisi walk away supplier akan rendah.
3.       Apakah supplier sedang beroperasi dalam full capacity atau tidak? Jika supplier beroperasi dalam kapasitas rendah berarti supplier sedang dalam kondisi PT RO (Rindu Order) sehingga posisi walk away supplier akan rendah dan sebaliknya.
4.       Jika dari hasil negosiasi, buyer setuju untuk order ke supplier, apakah supplier punya target waktu kapan supplier berharap menerima order tsb? Makin segera supplier berharap bisa menerima order dari buyer, makin rendah posisi walk away supplier dan sebaliknya.
5.       Apakah supplier berencana untuk menggunakan atau memanfaatkan PO atau kontrak dari buyer sebagai gerbang untuk masuk ke suatu segmen industri atau market baru? Semakin besar peluang supplier menggunakan order atau kontrak buyer untuk kepentingan tsb, semakin rendah posisi walk away supplier dan sebaliknya.
Dengan memiliki penilain informasi-informasi di atas, memungkinkan buyer untuk bernegosiasi dengan lebih percaya diri dalam menggunakan taktik walk out thd supplier dan juga dalam mengkounter supplier jika menggunakan taktik walk out thd buyer.


Selasa, 14 April 2015

Asah kampakmu lebih lama !!! (Persiapan nego purchasing)

Abraham Lincoln, presiden Amerika Serikat ke -16 berkata: Jika saya memiliki waktu sembilan jam untuk menebang pohon, saya akan menggunakan waktu enam jam untuk mengasah kapak.

Secara garis besar, sebelum seorang purchaser melakukan negosiasi dengan suppliernya, ada 2 hal yang harus dipersiapkan: persiapan dari aspek penguasaan data (data-driven) dan dari aspek perilaku (behavioral).
Persiapan dari aspek data berhubungan dgn logika (otak kiri) sedangkan persiapan dari apek perilaku berhubungan dgn emosi (otak kanan).

Dua-duanya sama pentingnya dalam negosiasi. Namun menurut saya aspek penguasaan data merupakan fondasi dari kesuksesan negosiasi purchasing. Aspek perilaku membantu mempengaruhi aspek penguasaan data, sehingga dipersiapkan setelah data yang dibutuhkan sudah tersedia. Data is power !

Yang termasuk aspek penguasaan data seperti mempersiapkan (1) data benchmarking yaitu tabel perbandingan penawaran dari beberapa supplier. Perbandingan ini diperoleh dari RFQ/ RFP. Yang dibandingkan data harga, payment terms, lead time, customer service, warranty dan semua hal dalam QSDP (Quality Service Delivery Price) yang bisa didapatkan. Namun untuk barang atau jasa khusus yang tidak bisa dibandingkan secara langsung cara no 1 tidak bisa diterapkan. Cara yang biasa digunakan untuk barang dan jasa khusus adalah (2) data cost modelling, termasuk mengidentifikasi model biaya supplier baik dengan bekerjasama dengan internal (bagian finance, engineering, dsb) ataupun dengan eksternal (konsultan, supplier itu sendiri, supplier lain, dsb). TCO (Total Cost of Ownership) juga  merupakan bagian dari data cost modelling yang sudah saya bahas di tulisan sebelumnya. Data lain yang perlu dipersiapakan utk negosiasi spt data kebutuhan gabungan seluruh perusahaan atau grup, data peluang kebutuhan di masa depan, data % bisnis supplier yang datang dari kita (dengan mendapatkan suatu order dari kita), data cost sepanjang supply chain (mana yang bisa dihilangkan), data flexibilitas payment terms, dan sebagainya. Data-data ini akan berguna dalam proses tawar menawar dengan supplier.

Setelah purchaser mempunyai cukup data untuk persiapan negosiasi, barulah purchaser mempersiapkan aspek perilaku yang bisa digunakan saat negosiasi. Yang termasuk dalam aspek ini adalah penggunaan strategi, taktik, teknik komunikasi seperti strategi win-lose, taktik bad guy good guy, taktik walk out, taktik higher authority, taktik the straws, taktik permintaan pembuka berlebihan, teknik mendengar, teknik open mind, dsb.


Seni negosiasi purchasing adalah kemampuan berhubungan dgn supplier scr terhormat, kemampuan untuk membuat supplier mau membantu anda, dan pada akhirnya, kemampuan utk mencapai tujuan anda, disaat yang sama membuat supplier meninggalkan meja perundingan dengan perasaan senang.


Rabu, 01 April 2015

Tolooong.... gudangku penuuuh...kurang space...kurang oraaaang...

Seorang teman mengeluh: gudang saya penuh, kotor, berantakan, barang bertumpukan, lorong-lorong terpakai untuk meletakkan barang, petugas gudang cape karena banyak kerjaan dan pulang malam terus, FIFO nggak jalan, banyak barang rusak dan hilang, pengiriman telat, customer complain, akurasi penghitungan stock rendah, ...pokoknya hidup kami susah deh.... sudah coba minta tambah orang dan tambah space lagi ke management, tapi tidak disetujui mereka, kata mereka: kok minta tambah melulu sih??? Baru kemaren tambah orang dan space, sekarang minta tambah lagi ????

Lalu ada yang menyarankan ke teman tsb untuk mengimplementasikan tool sederhana tapi powerfull yaitu 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, Shitsuke). Alhasil, setelah beberapa bulan, beberapa perubahan terjadi di gudang kami seperti area yang rapi, barang diletakkan pada lokasi yang tepat dan dengan pengidentifikasian yang jelas, FIFO berjalan, preservasi berjalan baik, barang rusak dan hilang berkurang drastis, akurasi perhitungan stock lebih baik, pengiriman barang lebih tepat waktu, customer lebih puas, dan banyak manfaat lainnya sehingga semua stake holder lebih happy.

Namun seandainya hasil implementasi 5S masih belum memuaskan, sebelum akhirnya memutuskan menambah resources spt menambah orang, space, dst, masih ada tool lain yang bisa dicoba seperti IPO (Inventory Process Optimization) termasuk program ICR (Inventory Cash Release) dalam mengurangi inventory. Program ICR dimulai dari mengidentifikasi inventory Pareto, mengidentifikasi kategori masalah kelebihan inventory (spt high turnover, low turnover, slow moving, obsolete, excess, surplus, phantom), dan menerapkan aksi-aksi pengurangan inventory (spt VMI, konsinyasi, menjual stock excess dan obsolete, eliminasi duplikasi, merubah faktor yg mendrive safety stock, mengurangi reorder stock, mendekatkan delivery dengan waktu penggunaan (spt JIT), mengurangi nilai inventory). Tentu saja penerapan program pengurangan inventory ini harus bekerjasama dengan pihak lain dalam Supply Chain spt purchasing dan supplier, finance, customer internal spt marketing, maintenance, production, dan juga customer external.

Program IPO dan ICR dalam banyak kasus memberikan solusi yang signifikan bagi perusahaan. Namun jika masih belum memberikan solusi yang diinginkan, program untuk mereview dan menambah resources spt orang, space, rack, teknologi dll menjadi senjata pamungkas untuk diterapkan.


Senin, 09 Maret 2015

Skedul Training Rahmat Noviandi di 2016

Skedul training publik dan seminar Rahmat Noviandi MBA, CSCP, CPP, CPPM di 2016 bekerjasama dgn bbrp lembaga training (OMEX, SDM-Mitra, PQM, Markshare, Inti Pesan, Kaizen, dll) adalah topik-topik berikut (utk tanggal detail, bisa menghubungi email dan no tlp di bawah) :
·         
·         Supply Chain Management
·         Strategic & Operational procurement
·         Distribution & SCM
·         Negotiation for Purchasing
·         Logistics management & SCM
·         Cost saving in procurement
       warehouse & inventory management
       PPIC dan operation management lainnya

Juga ada beberapa training in-house dan konsultasi.

Untuk permintaan training dan konsultasi ke Rahmat Noviandi MBA, CSCP, CPP, CPPM bisa menghubungi:
Email: rahmatnoviandi@gmail.com, rahmat-n@cbn.net.id
Tlp: 0811893271



Supplierku.... Partnerku.... muach...

Bentuk hubungan perusahaan kita dengan supplier nggak beda dengan bentuk hubungan kita dengan orang sekitar kita, dimana hubungan dengan anak, istri, tetagga, teman kerja, orang ketemu di jalan dsb tentu masing-masing berbeda bentuk hubungannya.

Seperti yang kita bahas sebelumnya, bentuk hubungan ini ditentukan oleh supply risk dan spend analysis yang bisa dipetakan dalam Matrix kraljic.
Bentuk hubungan yang paling jauh yaitu Arms’s Length atau buy on market yang mirip dengan hubungan kita dengan orang ketemu di jalan, dimana perusahaan kita masih memperlakukan supplier seperti orang ketemu di jalan; kalau butuh sesuatu, baru membuat komunikasi.
Bentuk hubungan yang lebih dekat lagi yaitu ongoing relationship yang mirip dengan hubungan teman kantor atau tetangga dimana perusahaan kita sudah ada repeat order dan preference terhadap supplier di bentuk hubungan ini.
Lebih dekat lagi adalah partnership yang mirip hubungan khusus seperti pacaran dimana perusahaan kita sudah mempunyai komitmen, keterbukaan, dan rencana jangka menengah dengan satu atau sedikit supplier.
Bentuk partnership yang lebih jauh yaitu collaboration atau strategic alliance yang mirip dengan hubungan suami istri yang merupakan bentuk partnership yang sudah diformalkan dimana komitmen lebih tinggi, keterbukaan lebih besar terhadap informasi-informasi strategis, adanya sharing rencana jangka panjang dengan satu atau dua supplier.
Namun jika perusahaan kita sudah melakukan merger & acquisition dengan supplier, tentu saja hubungan perusahaan kita dengan supplier tersebut sudah seperti hubungan dengan anak atau dengan saudara, .... baik dan jeleknya adalah anakku, atau adikku, harus kubela.....

Bentuk partnership  sendiri ada tingkatannya yang bisa dilihat dari komponen partnership. Komponen partnership adalah faktor yang terlibat dalam partnership yang bisa  dikontrol oleh management. Semakin banyak komponen yang kita gunakan, semakin tinggi tingkat partnership perusahaan kita dengan supplier. Ada beberapa komponen dalam partnership:
1.       Planning: ada beberapa planning bersama. Berbagi forecast, merencanakan supply, dsb.
2.       Joint operating control: kemungkinan untuk merubah operasi partner tanpa banyak / tanpa ada proses approval awal atau pemberitahuan formal.
3.       Komunikasi: adanya peningkatan frekuensi komunikasi dan juga melibatkan level staff (tidak hanya level manajemen) juga meningkatkan partnership.
4.       Risk/ reward  sharing: benefit dan reward di share bersama, .. resiko dan biaya tentu juga.
5.       Trust dan komitmen: tanpa trust dan komitment, tidak ada partnership.
6.       Contract style: biasanya jika terjadi partnership dengan level yang sangat tinggi, tidak dibutuhkan kontrak yang panjang dan spesifik, bahkan dalam bbrp kasus tidak ada kontrak antar partner.
7.       Scope: partnership yang mempunyai level tinggi melibatkan lebih banayk aktivitas ekonomi antar partner.

8.       Financial investment: ada saling ketergantungan financial melalui sharing asset, staff, dan investasi.


Senin, 02 Maret 2015

Memanfaatkan ITOR (Inventory Turn Over Ratio) dan DOI (Days of Inventory)

Salah satu ukuran kinerja (KPI) yang cukup penting dalam warehouse dan inventory management adalah ITOR dan DOI.
Rumus nya adalah:
Inventory Turn Over Ratio (ITOR) = COGS / Average Inventory (dgn bbrp variasi rumus)
Rasio ini menunjukkan berapa kali inventory perusahaan berputar (dijual dan digantikan) dalam suatu periode, biasanya dalam tahunan, namun perhitungan bulanan atau mingguan juga sangat berguna.
Rasio ini juga bisa ditampilkan dalam bentuk lain seperti dalam umur (hari) seperti rasio DOI.
Days of Inventory (DOI) = 360 hari / ITOR

Rasio ini banyak digunakan para professional Logistics mapun professional keuangan untuk menilai apakah inventory perusahaan kita saat ini sudah “pantas” atau belum. Pantas atau tidaknya tentu dibandingkan dengan angka ITOR lain misalnya dengan; rata2 industri sejenis, dengan angka ITOR masa lalu, dengan target perusahaan, dsb.

Akan menarik jika kita di Indonesia mulai membuat benchmark data ITOR industri di Indonesia. Jika teman-teman ada yang punya, boleh share saya ya...  J, atau kita mulai garap proyek database ini bersama. Jika kita lihat data ITOR dari negara lain, misalnya industri makanan dan minuman yang ITOR nya bisa di atas 10x, industri metal sekitar 4-5 x , industri jasa yang bisa lebih dari 30x dsb. Angka ini tentu ada hubungannya dengan sifat produk, sifat distribusi, dll.

Setelah kita melihat posisi ITOR perusahaan kita dalam industri, kita kemudian bisa memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan, misalnya jika ternyata ITOR kita terlalu rendah dibanding rata-rata industri, kita bisa melakukan proses IPO (Inventory Process Optimalization) yang akan kita bahas nanti terpisah. Atau bisa juga ITOR kita terlalu tinggi, tentu perlu usaha tertentu untuk mendekati angka industri jika memang memberikan manfaat bagi perusahaan spt manfaat operational.

Pada akhirnya, perusahaan harus "memantaskan" jumlah inventorynya untuk menyeimbangkan antara customer service dengan biaya dan investasi inventory.


Rabu, 04 Februari 2015

Supply Chain vs Value Chain

Banyak yang mempertanyakan perbedaan antara Supply Chain dan Value Chain?
Memang terkadang istilah ini membuat bingung.....
Saya melihat ada tumpang-tindih antara dua istilah ini. Menurut saya istilah ini awalnya berasal dari dua area yang berbeda.
Istilah Supply Chain berasal dari Operation Management. Istilah Supply Chain Management pertama kali diciptakan oleh Keith Oliver di tahun 1982 dengan mendefinisikannya sbb: “Supply chain management (SCM) is the process of planning, implementing, and controlling the operations of the supply chain with the purpose to satisfy customer requirements as efficiently as possible. Supply chain management spans all movement and storage of raw materials, work-in-process inventory, and finished goods from point-of-origin to point-of-consumption”. Dari definisi tersebut ada penekanan pada pergerakan barang (dan juga jasa) dari titik asal ke titik konsumsi.
Istilah Value Chain berasal dari Business Management yang digambarkan dan dipopulerkan oleh  Michael Porter dalam buku best seller nya di tahun 1985 berjudul Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance dan mendifiniskannya sbb: A value chain is a chain of activities that a firm operating in a specific industry performs in order to deliver a valuable product or service for the market. Jadi ada penekanan pada rantai aktivitas (aktivitas utama dan aktivitas support) yang memberikan nilai tambah pada produk atau jasa.
Pada awalnya Supply Chain lebih melihat pada aliran atau pergerakan barang atau jasa dan Value Chain lebih melihat pada rantai aktivitas yang memberikan nilai tambah pada produk. Namun dengan perkembangan yang cukup pesat dalam bidang keilmuan Supply Chain Management, konsep-konsep Value Chain banyak masuk dalam pembahasan Supply Chain Management.


Selasa, 03 Februari 2015

Haruskah supplier meminta kenaikan harga dalam VMI?

APICS dictionary mengatakan, VMI (Vendor Managed Inventory) adalah down stream Supply Chain customer berpartner dgn suppliernya. Ini merupakan salah satu program yang efektif bagi perusahaan dalam mengurangi inventory nya. Ada berbagai variasi dalam VMI seperti ada yang hanya memindahkan inventory management (spt replenishment dll)  ke supplier, dan ada juga yang memindahkan inventory management beserta ownership inventory ke supplier.

Untuk variasi yang terakhir, supplier biasanya meminta kenaikan harga barang dalam VMI program tsb dengan alasan supplier akan menanggung tambahan tambahan biaya investasi untuk tambahan barang yang di stock. Apakah memang harus dinaikan? Jika dinaikkan berarti memang inventory cost perusahaan customer berkurang tapi biaya karena kenaikan harga akan bertambah. Alhasil, secara supply chain, perusahaan tsb tidak akan mendapatkan benefit apa-apa dari sisi cost, padahal salah satu benefit yang diharapkan dari program VMI ini adalah cost reduction dalam Supply Chain.

Perusahaan customer tentu saja bisa bernegosiasi dengan supplier untuk tidak menaikkan harga harga barang VMI tsb dengan alasan bahwa supplier juga mendapatkan cost reduction dengan program VMI tsb spt:

  •        New market acquisition cost. Dengan program VMI, perusahaan customer berarti komit untuk order barang dari supplier tsb. Supplier tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk mendapatkan customer baru spt biaya promosi dsb.
  •        Manufacturing efficiency. Supplier tidak lagi merespon PO customer, tapi real demand. VMI akan menghasilkan skedul dan proses order ke supplier mereka dengan lebih baik sehingga mengurangi manufacturing cost.
  •        Transportation efficiency. VMI membuat supplier bisa menggunakan opsi transport yang lebih efisien.

Dan banyak hal lain spt order management efficiency (admin cost), inventory dan warehouse efficieny (menggunakan space customer), dsb.



Minggu, 01 Februari 2015

Strategi konsesi 3 level dalam nego purchasing

Jika budget perusahaan utk membeli suatu barang/jasa adlh 100 jt , tentu saja anda tidak membuka penawaran sebesar 100 jt ke supplier kan? Tentu anda mulai membuka di angka katakanlah 70 atau 80 jt.

Isu yang bisa dinegosiasikan adalah semua isu dalam QSDP (Quality Service Delivery Price) beserta sub elemen nya.

Dalam nego purchasing dikenal strategi konsesi 3 level yaitu :
1.       HID (High Initial Demand). Posisi dimana buyer biasanya membuka harga penawaran negosiasi dengan terendah, atau membukan penawaran lead time delivery dengan lead time terpendek. Supplier akan menggunakan HID yang kebalikan dari buyer, harga tertinggi yang direncanakan dst.
2.       Nice, posisi dimana  QSDP masih bisa diterima oleh buyer atau supplier.
3.       Must Have, posisi dimana posisi terakhir yang bisa diterima oleh buyer atau supplier. Posisi must ini biasanya budget dari perusahaan masing-masing.

Baik buyer maupun supplier mempunyai posisi HID, nice, dan must have masing-masing. Sebagai buyer tentu kita mengetahui posisi HID, nice, dan must have kita. Namun kita hanya bisa memperkirakan posisi HID, nice, must have dari supplier sebagai lawan negosiasi kita. Informasi posisi lawan teresebut mungkin berasal dari owner estimate, data market, data historis, data intelijen, dsb.

Dalam konsesi negosiasi juga dikenal istilah BATNA yang cukup  populer di kalangan akdemisi dan praktisi. Apa itu BATNA dan dimana posisinya dlm 3 level konsesi?

BATNA singkatan dari Best Alternative to A Negotiated Agreement. Secara singkat, BATNA ekuivalen dengan posisi Must have dalam strategi konsesi. Jika anda harus memiliki itu, dan tidak mendapatkannya, lalu anda butuh punya alternatif lain. BATNA dipertimbangakn sebagai poin “walk away”oleh banyak professional, tapi masih terjadi perdebatan di kalangan akademisi.


Senin, 26 Januari 2015

Setiap kelas material dan industri mempunyai isu procurement berbeda

Pembelian raw material dan komoditi berbeda dari pembelian jasa, part komponen, part MRO, produk yang sudah dimanufaktur penuh, asset, dan juga project.
Isu-isu yang penting dan spesifik dan harus dikuasai professional procurement raw material dan komoditi seperti market supply (mengetahui berbagai sumber yang kompetitif, struktur market, kompetisi, rantai distribusi supplier dsb) dan juga isu pricing (informasi harga, perubahan pola harga, evaluasi harga, index harga, harga vs volume dan quality, impak kejadian global atas price dan availability, dsb).
Dalam procurement capital asset (dan juga project spt konstruksi dsb) adalah isu-isu seperti life-cycle costing (TCO, Total Cost of Ownership),  project management. Vital bagi professonal procurement, untuk paling tidak berpartisipasi dalam 4 area fundamental yaitu:
1.       Review spesifikasi, drawing, SOW.
2.       Review dan seleksi sumber supply potensial.
3.       Merencanakan dan eksekusi setiap negosiasi
4.       Eksekusi purchase contract.
Pembelian service membutuhkan pengetahuan tentang aplikasi analisa opportunity cost & benefit cost dalam menentukan apakah jasa tsb bisa dikerjakan sendiri atau di”outsource”. Tipe servis spt yang berhubungan dgn fasilitas, logistik, komunikasi, karyawan, dan professional. Masing-masing tipe ada isu spesifik juga, misalnya dalam purchasing jasa logistik atau transportasi yang sangat berbeda dengan pembelian jasa konsultan manajemen.

Professional procurement dituntut untuk menguasai isu-isu spesifik di kelas material dan industri yang berbeda tsb disamping menguasai pengetahuan dan skill dasar procurement spt operational purchasing, logistik, contract, negosiasi, product knowledge, dll.


Minggu, 18 Januari 2015

Menerapkan konsep 7 Waste pada inventory spare part MRO dan engineering

Dalam menerapakan prinsip LEAN, kita mengenal prinsip untuk menghilangkan waste (sampah). Ini juga bisa diterapkan pada operasi warehouse spare part MRO (Maintenance Repair Operation) dan engineering.
Berikut ini beberapa pemikiran tentang bagaimana sampah tsb terjadi dan bagaimana menghilangkannya:
1.       Waste through mistakes seperti seleksi spare part yang tidak baik, mempunyai part yang salah di stock, data error dalam key in, dsb. Hal ini bisa dihilangkan salah satunya dengan proses perencanaan pembelian spare part yang lebih baik.
2.        Waste in process yang terjadi dalam birokrasi dan tahap-tahap proses. Hal ini bisa dihilangkan dengan meningkatkan skill dan knowledge personel.
3.       Waste in over producing. Ada 2 tipe yaitu (1) over odering stock, bisa dihilangkan dengan stocking policy,  (2) User (bag maintenance) menyimpan spare part di tempat lain, bisa dihilangkan dengan perubahan  budaya dan meningkatkan trust.
4.       Waste through storage seperti safety stock yang tinggi. Ini bisa dihilangkan dengan perubahan  budaya dan meningkatkan trust.
5.       Waste in transportation seperti tingginya pergerakan barang, bisa dihilangkan dengan mengatur ulang layout warehouse seperti meletakkan barang yang fast moving dekat entry atau exit.
6.       Waste in time spent waiting seperti lamanya waktu menunggu barang diterima untuk diproses masuk ke store room. Hal ini bisa mengakibatkan deviasi data. Cara menghilangkan waste ini seperti dengan disiplin dan tepat waktu dalam proses pengumpulan data.

7.       Wasted movement dalam seleksi, pengkatalogan, order, receive, store, stocktaking, item yang tidak pernah digunakan. Cara menghilangkan waste seperti dengan planning yang lebih baik.




Selasa, 13 Januari 2015

Menangani Urgent Order dalam Purchasing

Urgent order sering menimbulkan banyak masalah seperti harga beli yang ketinggian (kemahalan) , spending melebihi budget, unethical business practice, dsb, sehingga urgent order perlu dikelola. Di satu sisi urgent order ini bisa saja terjadi karena penyebab yang tidak bisa dikontrol. Namun banyak juga urgent order muncul dari penyebab yang bisa dikontrol dan tidak seharusnya menjadi urgent order.

Beberapa langkah praktis dalam mengelola urgent order adalah sbb:
1.     Definisikan apa urgent order tsb. Ini mencegah setiap user berkilah bahwa order nya paling urgent. Misalnya, urgent order adalah order yang jika tidak dipenuhi dalam kuarng dari 24 jam akan mengakibatkan stop line produksi dan berpotensi menimbulkan kerugian di atas sekian puluh juta rupiah. Atau urgent order adalah order yang jika tidak dipenuhi dalam kuarng dari 24 jam akan mengakibatkan mesin customer break down dan menimbulkan kerugian meleibih sekian juta rupiah. Buat beberapa kriteria dan alasan yang bisa diklasifikasikan sebagai urgent order tsb. Cantumkan definisi ini dalam prosedur perusahaan.
2.     Buat prosedur atau instruksi kerja kerja yang jelas atas bagaimana menangani urgent order tsb. Jadikan ini sebagai guideline tertulis dan dipahami oleh semua pihak terlibat. Misalnya untuk normal order, user harus membuat PR yang harus ditandatangan oleh Dept Head user lalu purchaser harus membandingkan minimum 3  quotation dari supplier yang berbeda lalu dipilih 1 yang terbaik, lalu Purchasing/ Procurement Manager harus menandatangan PO untuk dikirim ke supplier. Untuk urgent order dibuat prosedur khusus misalnya: jika ada order telah memenuhi kriteria urgent order, maka user harus meminta persetujuan tertulis dari Dept Head user minimum melalui SMS yang di cc kan ke Direktur atau GM dan Purchasing/ Procurement Manager. Dept Head user dan Direktur atau GM memberikan persetujuan tertulis minimum melalui SMS yang di cc ke pihak-pihak tadi. Berdasarkan SMS tsb, Purchasing/ Procurement Manager bisa mengorder barang/ jasa tersebut minimum dengan telpon dan SMS ke supplier.
3.     Buat ukuran kinerja atau KPI terhadap urgent order untuk membatasi jumlah urgent order. Misalnya, KPI untuk urgent order mempunyai target maximum 5 % (bisa dalam jumlah PO dari user atau nilai PO). Jika ada suatu Departemen user yang mengeluarkan PO urgent lebih dari 5%, Dept Procurement harus mereveiw, mencari akar masalah, dan membawa dan menunjukkan KPI target vs actual tsb ke meeting rutin manajemen perusahaan. Dept user harus memberikan justifikasi yang bisa dipertanggungjawabkan . Semakin besar urgent order suatu Dept user, bisa jadi berarti semakin tidak bisa si user melakukann perencanaan dalam Dept nya (disamping memang sedang ada kejadian khusus ynag tidak bisa dikontrol di Dept nya). Tentu saja ada mekanisme reward dan punishment dalam mengelola KPI. Dengan cara ini, semua pihak akan berusaha untuk mengurangi urgent ordernya dan melakukan perencanaan order dengan lebih baik.


Selasa, 06 Januari 2015

Tumpukan Inventory adalah tumpukan uang

Inventory dicatat dalam laporan keuangan, di Neraca di bawah aktiva lancar yang sering dibagi atas raw material, WIP, dan finish good , juga di Laporan Rugi Laba yang dimasukkan dalam perhitungan COGS  , dan juga termasuk dalam Laporan Cash Flow dimana berkurangnya inventory akan meningkatkan cash dan sebaliknya.
Sudah jelas bahwa tumpukan inventory adalah tumpukan uang sehingga tentu saja perusahaan lebih senang uangnya berputar daripada menumpuk mati.
Namun di sisi lain, perusahaan juga menginginkan adanya Inventory untuk memenuhi kebutuhan baik untuk pelanggan internal terutama pelanggan external.

Ada berbagai program utk mengurangi Inventory cost spt:
1. Dari item cost (harga barang)
Berupaya berbagai upaya utk mengurangi inventory itu sendiri spt meningkatkan forecast accuracy, mengurangi MOQ (Minimum Order Quantity) dari supplier, mengalihkan stock ke supplier spt dgn program VMI (Vendor Managed Inventory), meningkatkan kinerja supplier dari sisi lead time, on time delivery, quality , memperbaiki komunikasi dalam Supply Chain, cross docking, dan sebagainya.
2. Dari carrying / holding cost (biaya menyimpan)
Ada beberapa komponen biaya menyimpan. Berbagai upaya mengurangi biaya sbb:
- biaya gedung warehouse: meningkatkan utiltisasi ruang dsb
- biaya alat handling , biaya tenaga kerja, biaya WACC, asuransi dsb.
- biaya kehilangan, scrap, usang : meningkatkan sistem keamanan dgn berbagai teknologi, pengontrolan tamu, melakukan Cycle stock counting, implementasi FIFO dan FEFO,  dsb.
3. Ordering cost (biaya mengorder)
Berupa berbagai upaya efisiensi dari sisi pembelian.
4. Backorders (stockout), lost sales, lost customers.
Biaya ini muncul jika stock tidak tersedia sesuai permintaan customer. Mengurangi biaya ini adalah dengan meningkatkan availability stock.
5. Capacity variance: biaya merubah kapasitas melebihi range normal: overtime, tambahan shift, latoffs, tutup pabrik. Sama dengan poin no 4, mengurangi biaya ini adalah dengan meningkatkan availability stock.