Rabu, 04 Februari 2015

Supply Chain vs Value Chain

Banyak yang mempertanyakan perbedaan antara Supply Chain dan Value Chain?
Memang terkadang istilah ini membuat bingung.....
Saya melihat ada tumpang-tindih antara dua istilah ini. Menurut saya istilah ini awalnya berasal dari dua area yang berbeda.
Istilah Supply Chain berasal dari Operation Management. Istilah Supply Chain Management pertama kali diciptakan oleh Keith Oliver di tahun 1982 dengan mendefinisikannya sbb: “Supply chain management (SCM) is the process of planning, implementing, and controlling the operations of the supply chain with the purpose to satisfy customer requirements as efficiently as possible. Supply chain management spans all movement and storage of raw materials, work-in-process inventory, and finished goods from point-of-origin to point-of-consumption”. Dari definisi tersebut ada penekanan pada pergerakan barang (dan juga jasa) dari titik asal ke titik konsumsi.
Istilah Value Chain berasal dari Business Management yang digambarkan dan dipopulerkan oleh  Michael Porter dalam buku best seller nya di tahun 1985 berjudul Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance dan mendifiniskannya sbb: A value chain is a chain of activities that a firm operating in a specific industry performs in order to deliver a valuable product or service for the market. Jadi ada penekanan pada rantai aktivitas (aktivitas utama dan aktivitas support) yang memberikan nilai tambah pada produk atau jasa.
Pada awalnya Supply Chain lebih melihat pada aliran atau pergerakan barang atau jasa dan Value Chain lebih melihat pada rantai aktivitas yang memberikan nilai tambah pada produk. Namun dengan perkembangan yang cukup pesat dalam bidang keilmuan Supply Chain Management, konsep-konsep Value Chain banyak masuk dalam pembahasan Supply Chain Management.


Selasa, 03 Februari 2015

Haruskah supplier meminta kenaikan harga dalam VMI?

APICS dictionary mengatakan, VMI (Vendor Managed Inventory) adalah down stream Supply Chain customer berpartner dgn suppliernya. Ini merupakan salah satu program yang efektif bagi perusahaan dalam mengurangi inventory nya. Ada berbagai variasi dalam VMI seperti ada yang hanya memindahkan inventory management (spt replenishment dll)  ke supplier, dan ada juga yang memindahkan inventory management beserta ownership inventory ke supplier.

Untuk variasi yang terakhir, supplier biasanya meminta kenaikan harga barang dalam VMI program tsb dengan alasan supplier akan menanggung tambahan tambahan biaya investasi untuk tambahan barang yang di stock. Apakah memang harus dinaikan? Jika dinaikkan berarti memang inventory cost perusahaan customer berkurang tapi biaya karena kenaikan harga akan bertambah. Alhasil, secara supply chain, perusahaan tsb tidak akan mendapatkan benefit apa-apa dari sisi cost, padahal salah satu benefit yang diharapkan dari program VMI ini adalah cost reduction dalam Supply Chain.

Perusahaan customer tentu saja bisa bernegosiasi dengan supplier untuk tidak menaikkan harga harga barang VMI tsb dengan alasan bahwa supplier juga mendapatkan cost reduction dengan program VMI tsb spt:

  •        New market acquisition cost. Dengan program VMI, perusahaan customer berarti komit untuk order barang dari supplier tsb. Supplier tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk mendapatkan customer baru spt biaya promosi dsb.
  •        Manufacturing efficiency. Supplier tidak lagi merespon PO customer, tapi real demand. VMI akan menghasilkan skedul dan proses order ke supplier mereka dengan lebih baik sehingga mengurangi manufacturing cost.
  •        Transportation efficiency. VMI membuat supplier bisa menggunakan opsi transport yang lebih efisien.

Dan banyak hal lain spt order management efficiency (admin cost), inventory dan warehouse efficieny (menggunakan space customer), dsb.



Minggu, 01 Februari 2015

Strategi konsesi 3 level dalam nego purchasing

Jika budget perusahaan utk membeli suatu barang/jasa adlh 100 jt , tentu saja anda tidak membuka penawaran sebesar 100 jt ke supplier kan? Tentu anda mulai membuka di angka katakanlah 70 atau 80 jt.

Isu yang bisa dinegosiasikan adalah semua isu dalam QSDP (Quality Service Delivery Price) beserta sub elemen nya.

Dalam nego purchasing dikenal strategi konsesi 3 level yaitu :
1.       HID (High Initial Demand). Posisi dimana buyer biasanya membuka harga penawaran negosiasi dengan terendah, atau membukan penawaran lead time delivery dengan lead time terpendek. Supplier akan menggunakan HID yang kebalikan dari buyer, harga tertinggi yang direncanakan dst.
2.       Nice, posisi dimana  QSDP masih bisa diterima oleh buyer atau supplier.
3.       Must Have, posisi dimana posisi terakhir yang bisa diterima oleh buyer atau supplier. Posisi must ini biasanya budget dari perusahaan masing-masing.

Baik buyer maupun supplier mempunyai posisi HID, nice, dan must have masing-masing. Sebagai buyer tentu kita mengetahui posisi HID, nice, dan must have kita. Namun kita hanya bisa memperkirakan posisi HID, nice, must have dari supplier sebagai lawan negosiasi kita. Informasi posisi lawan teresebut mungkin berasal dari owner estimate, data market, data historis, data intelijen, dsb.

Dalam konsesi negosiasi juga dikenal istilah BATNA yang cukup  populer di kalangan akdemisi dan praktisi. Apa itu BATNA dan dimana posisinya dlm 3 level konsesi?

BATNA singkatan dari Best Alternative to A Negotiated Agreement. Secara singkat, BATNA ekuivalen dengan posisi Must have dalam strategi konsesi. Jika anda harus memiliki itu, dan tidak mendapatkannya, lalu anda butuh punya alternatif lain. BATNA dipertimbangakn sebagai poin “walk away”oleh banyak professional, tapi masih terjadi perdebatan di kalangan akademisi.